Selasa, 06 Desember 2011

SISTEM MITIGASI BENCANA ALAM GUNUNG BERAPI DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH

SISTEM MITIGASI BENCANA ALAM GUNUNG BERAPI DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH
(Studi Kasus: Gunung Bromo, Jawa Timur)

Oleh: Ery Abdul Baary 3508100058

LATAR BELAKANG
Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk mendukung sistem peringatan dini bencana alam diyakini sebagai suatu teknik yang dapat memberi kontribusi sangat banyak. Di sisi lain, keragaman dan kedetailan informasi yang dapat diperoleh dari pemanfaatan data ini relatif sangat banyak meskipun tergantung pada kemampuan interpreter atau pengguna.
Indonesia tercatat memiliki jumlah gunung api sebanyak ± 400 buah dan 129 diantaranya dalam keadaan aktif (www.pu.go.id). Dari jumlah tersebut 70 buah pernah meletus dan 26 diantaranya termasuk kategori diawasi (Direktorat Vulkanologi, 1979). Selain itu tercatat 15 buah gunung api dikategorikan sebagai gunung api kritis atau sangat potensial untuk meletus. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki gunung api relatif banyak sehingga pemanfaatan data penginderaan jauh akan mempercepat pekerjaan inventarisasi daerah bahaya letusan gunung api.
Letusan gunung api dapat memberi berkah bagi kehidupan, misalnya bahan hasil letusan yang mengalami pelapukan menjadikan tanah subur untuk pertanian. Sebaliknya, letusan gunung api dapat memberi dampak negatif yaitu menimbulkan korban dan kerugian. Untuk mengurangi dampak negatif ini perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik gunung api. Dari citra penginderaan jauh satelit.
Gunung Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut. Gunung tersebut berada dalam empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Kabupaten Malang. Selama abad ke-20, Gunung Bromo meletus sebanyak tiga kali, dengan interval waktu yang teratur yaitu 30 tahun. Letusan terbesar terjadi pada tahun 1974 sementara letusan terakhir terjadi pada 2004 lalu.(inilah.com)
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi penutup lahan dan perubahannya melalui analisis data penginderaan jauh satelit multitemporal untuk mendukung sistem mitigasi bencana alam Gunung Bromo. Sistem Informasi seputar bencana Gunung Bromo yaitu dengan menunjukkan lokasi daerah bahaya menurut zonasi tingkat kerentanan dan perubahan penutup lahan. Informasi lokasi daerah bahaya dan perubahan penutup lahan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu diharapkan dapat menjadi bahan untuk membangun sistem mitigasi bencana Gunung Bromo dan sekitarnya.

CITRA SATELIT
Citra yang digunakan adalah citra dari satelit Terra Modis. EOS (Earth Observing Service) adalah “centerpiece” (DAYA TARIK) dari misi Ilmu pengetahuan bumi NASA. Satelit EOS AM, yang akhir-akhir ini dinamakan Terra, adalah pemimpin armada dan diluncurkan pada Desember 1999. Terra membawa lima instrumen remote sensing yang mencakup MODIS dan ASTER. ASTER, Advanced Spaceborn Thermal Emission and Reflectance Radiometer, adalah sebuah spektrometer citra beresolusi tinggi. Instrumen ASTER didesain dengan 3 band pada range spektral visible dan near-infrared (VNIR ) dengan resolusi 15 m, 6 band pada spektral short-wave infrared (SWIR ) dengan resolusi 30 m dan 5 band pada thermal infrared dengan resolusi 90 m. Band VNIR dan SWIR mempunyai lebar band spektral pada orde 10. ASTER terdiri dari 3 sistem teleskop terpisah, dimana masing-masing dapat dibidikkan pada target terpilih. Dengan penempatan (pointing) pada target yang sama dua kali, ASTER dapat mendapatkan citra stereo beresolusi tinggi. Cakupan scan/penyiaman (Swath witdh) dari citra adalah 60 km dan revisit time sekitar 5 hari.
MODIS, Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer mengamati seluruh permukaan bumi setiap 1-2 hari dengan whisk-broom scanning imaging radiometer. MODIS dengan lebar view/tampilan (lebih 2300 km) menyediakan citra radiasi matahari yang direfleksikan pada siang hari dan emisi termal siang/malam diseluruh penjuru bumi. Resolusi spasial MODIS berkisar dari 250- 1000 m (Janssen dan Hurneeman, 2001)

TERRA MODIS
MODIS adalah salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra satellite, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Program ini merupakan program jangka panjang untuk mengamati, meneliti dan menganalisa lahan, lautan, atmosfir bumi dan interaksi diantara faktor-faktor ini.
Satelit Terra berhasil diluncurkan pada Desember 1999 dan akan disempurnakan dengan satelit Aqua pada tahun 2002 ini. MODIS mengorbit bumi secara polar (arah utara-selatan) pada ketinggian 705 km dan melewati garis khatulistiwa pada jam 10:30 waktu lokal. Lebar cakupan lahan pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2330 km. Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 bands (36 interval panjang gelombang), mulai dari 0,405 sampai 14,385 ¦Ìm (1 ¦Ìm = 1/1.000.000 meter). Data terkirim dari satelit dengan kecepatan 11 Mega bytes setiap detik dengan resolusi radiometrik 12 bits. Artinya obyek dapat dideteksi dan dibedakan sampai 212 (= 4.096) derajat keabuan (grey levels). Satu elemen citranya (pixels, picture element) berukuran 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7) dan 1.000 m (band 8-36). Di dalam dunia penginderaan jauh (remote sensing), ini dikenal dengan resolusi spasial. MODIS dapat mengamati tempat yang sama di permukaan bumi setiap hari, untuk kawasan di atas lintang 30, dan setiap 2 hari, untuk kawasan di bawah lintang 30, termasuk Indonesia.
Dengan karakteristik di atas MODIS memiliki beberapa kelebihan dibanding NOAA-AVHRR. Diantara kelebihannya adalah lebih banyaknya spektral panjang gelombang (resolusi radiometrik) dan lebih telitinya cakupan lahan (resolusi spasial) serta lebih kerapnya frekuensi pengamatan (resolusi temporal). Memang belakangan sistem satelit Landsat Thematic Mapper¡¦ yang bekerja pada resolusi spasial 30 meter, mulai gencar dipromosikan untuk riset global. Landsat mengamati 7 spektral, mulai interval biru (0,45 ¡¦0,52 ¦Ìm) sampai thermal infra-merah (10,4 ¡¦12,5 ¦Ìm). Menurut hemat penulis MODIS masih akan memiliki kelebihan efektifitas ekonomi untuk riset-riset global dan kontinental sampai beberapa tahun mendatang. Sementara itu sistem SPOT-VEGETATION beroperasi dengan resolusi spasial 1 km, saat ini berkompetisi dengan MODIS dalam studi lingkungan global.
Produk MODIS dikatagorikan menjadi tiga bagian: produk pengamatan vegetasi, radiasi permukaan bumi, dan tutupan lahan. Diantara capaian riset adalah pendeteksian kebakaran hutan, pendeteksian perubahan tutupan lahan dan pengukuran suhu permukaan bumi. Suhu permukaan bumi dipadukan dengan data albedo (fraksi cahaya yang dipantulkan permukaan bumi) dimanfaatkan untuk pemodelan iklim. Dengan resolusi spasial yang semakin tinggi, dimungkinkan riset tentang prakiraan, dampak serta adaptasi regional yang diperlukan dalam menghadap perubahan lingkungan.
Pemanfaatan resolusi maksimum pada 250, 500 dan 1.000 meter sangat cocok untuk melakukan studi regional. Jika dipadukan dengan data Landsat TM, studi ini akan menghasilkan data dasar untuk monitoring dan pemodelan perubahan tutupan dan penggunaan lahan (land cover and land use) serta data dasar untuk pengamatan unsur carbon, yang menjadi salah satu parameter penting dalam studi lingkungan global
Kualitas produk di atas diukur dengan ketepatan pengamatan sensor dibandingkan dengan kondisi sebenarnya. Ini dikenal dengan istilah validasi data. Validasi data global masih merupakan agenda besar studi lingkungan global. Center for Environmental Remote Sensing (CEReS), tempat penulis melakukan riset saat ini, mengusulkan dibangunnya global land cover ground truth database. Ũround truth¡¦adalah sampel data lapangan yang dikumpulkan pada saat melakukan klasifikasi tutupan lahan dengan citra satelit secara otomatis. Basis data ini diusulkan dikumpulkan dari seluruh studi tutupan lahan global yang ada di dunia. Dengan basis data ini proses validasi data global akan mudah dilakukan.
Sebagaimana telah disinggung tutupan lahan dan interaksi manusia dengannya yang menyebabkan perubahan lahan dan keseluruhan ekosistem bumi, memainkan peran penting dalam iklim global dan biogeochemistry (mengaitkan bio-fisika dan sistem sirkulasi kimiawi permukaan bumi). Secara lebih detil, hal-hal yang diamati pada permukaan bumi antara lain variasi topografi (tinggi rendahnya permukaan buni), albedo, tutupan vegetasi, dan karakterististik fisik saling pengaruh antara permukaan bumi-atmosfir, termasuk sirkulasi panas dan energi. Keseluruhan ini memiliki pengaruh besar terhadap cuaca dan iklim.
Sebelum dikembangkannya teknik penginderaan jauh, data tutupan lahan global diturunkan dari peta-peta dan atlas dunia. Akan tetapi pendekatan ini bersifat statis, padahal tutupan lahan permukaan bumi bukanlah sesuatu yang statis, akan tetapi bersifat dinamis. Oleh karenanya pemanfaatan data satelit dengan karakteristik multi-temporal, multi-spektral dan multi-resolusi memungkinkan semakin baiknya pemodelan kondisi tutupan lahan.


Panjang Gelombang MODIS
Band λ (μm) Res (m) Band λ (μm) Res (m)
1 0.62-0.67 250 21a 3.929-3.989 1000
2 0.841-0.876 250 22 3.929-3.989 1000
3 0.459-0.479 500 23 4.020-4.080 1000
4 0.545-0.565 500 24 4.433-4.498 1000
5 1.230-1.250 500 25 4.482-4.549 1000
6 1.628-1.652 500 26 1.360-1.390 1000
7 2.105-2.155 500 27 6.535-6.895 1000
8 0.405-0.420 1000 28 7.175-7.475 1000
9 0.438-0.448 1000 29 8.400-8.700 1000
10 0.483-0.493 1000 30 9.580-9.880 1000
11 0.526-0.536 1000 31 10.780-11.280 1000
12 0.546-0.556 1000 32 11.770-12.270 1000
13 0.662-0.672 1000 33 13.185-13.485 1000
14 0.673-0.683 1000 34 13.485-13.785 1000
15 0.743-0.753 1000 35 13.785-14.085 1000
16 0.862-0.877 1000 36 14.085-14.385 1000
17 0.890-0.920 1000
18 0.915-0.965 1000
19 0.915-0.965 1000
20 3.660-3.840 1000
Sumber :http://disc.gsfc.nasa.gov/MODIS/documentation/tutorial/3_Background_MODIS.pps


Kemampuan Ekstraksi Citra Modis Berdasarkan Saluran
No. Saluran Kegunaan
1-2 Deliniasi daratan/awan/aerosol
3-7 Deliniasi daratan/awan/karakterisitik aerosol
8-16 Warna air laut/fitoplankton/Fluorescene/biogeokimia
17-19 Uap air di atmosfer
20-23 Suhu permukaan dan awan
24-25 Suhu udara
26-28 Uap air awan cirrus
29 Karakteristik awan
30 Lapisan ozon
31-32 Suhu permukaan dan awan
33-36 Awan tinggi
Sumber : http://daac.gsfc.nasa.gov/MODIS/documentation/brochure/MODIS-Radiometric.pdf

ANALISA
Hasil analisis data spasial geomorfologis dengan menggunakan data penginderaan jauh kawasan Gunung Api Bromo dibagi atas dua belas bentuk lahan (Landforms), yaitu:
• Kawah aktif
• Kawah tidak aktif
• Sumbat kawah
• Kerucut gunung api cinder
• Leher gunung api (Vulcanic neck)
• Lereng gunung api
• Kaki gunung api
• Dataran kaki gunung api
• Medan lava
• Kaki gunung api
• Dataran gunung api
• Dataran aluvial

Selanjutnya Gunung Api Bromo dikelompokkan ke dalam tiga daerah bahaya yaitu Daerah Terlarang, Daerah Bahaya I, dan Daerah Bahaya II. Penamaan tersebut mengacu pada zonasi daerah bahaya letusan gunung api yang dikeluarkan oleh Direktorat Vulkanologi. Pembagian ke dalam daerah-daerah bahaya tersebut disajikan dalam bentuk peta. Selain itu, dari hasil klasifikasi penutup lahan daerah Gunung Api Bromo dengan dua data inderaja berjangka waktu 5 tahun tersebut diperoleh perbedaan luas liputan lahan yang menunjukkan adanya perubahan yang terjadi selama kurun waktu tersebut.
Geomorfologi merupakan studi yang mendeskripsi bentuk lahan dan proses yang mengakibatkan terbentuknya bentuk lahan dan menyelidiki hubungan timbal balik dari bentuk-bentuk dan proses ini dalam susunan keruangan (Zuidam, 1985). Penamaan klasifikasi bentuk lahan didasarkan pada acuan yang dikeluarkan oleh Fakultas Geografi dan Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) tahun 2000.
Peta Daerah Bahaya Gunung api Bromo yang dikelompokkan ke dalam tiga daerah bahaya, yaitu Daerah Terlarang, Daerah Bahaya I, dan Daerah Bahaya II. Pembuatan peta daerah bahaya letusan tersebut digunakan untuk keperluan mitigasi bencana alam. Daerah terlarang meliputi daerah-daerah yang akan terkena dampak langsung dari erupsi vulkan baik aliran lava, aliran lahar, jatuhan material piroklastik, debris avalanche, maupun awan panas. Daerah-daerah pada daerah terlarang akan terkena atau mengalami kontak langsung oleh material-material erupsi tersebut. Daerah Bahaya I meliputi daerah-daerah yang kemungkinan besar akan mengalami dampak serupa pada Daerah Terlarang, namun memiliki intensitas, frekuensi dan resiko yang relatif lebih rendah. Daerah Bahaya II meliputi daerah-daerah di luar Daerah Terlarang dan II yang kemungkinan juga akan terkena dampak erupsi vulkan meskipun tidak sebesar pada daerah Terlarang dan I. Daerah-daerah yang termasuk dalam zona Daerah Terlarang I dan II meliputi hampir keseluruhan bentuk lahan yang memiliki tingkat kerentanan sangat rentan dan rentan meskipun tidak keseluruhan luasan bentuk lahanbentuk lahan tersebut termasuk ke dalam daerah bahaya. Hal ini disebabkan dengan memperhatikan faktor-faktor lain seperti stadium gunung api serta posisinya terhadap pusat erupsi saat ini. Bentuk lahan yang masuk dalam zona Daerah Terlarang yaitu meliputi keseluruhan kawah aktif, keseluruhan kerucut gunung api cinder (cinder merupakan abu gunung berapi dan pecahan kecil batu vulkanik menyebar di sekeliling gunung), dan Medan lava dari aliran lava yang dikeluarkan dari diatrema kerucut gunung api cinder. Bentuk lahan yang masuk dalam zona Daerah Bahaya I yaitu keseluruhan kawah tidak aktif, lembah Barranco dan sebagian Lereng gunung api. Sedangkan bentuk lahan yang masuk dalam zona Daerah Bahaya II yaitu meliputi sebagian lereng gunung api, medan lava dari vulkan tua dan sebagian dataran kaki gunung api yang terletak pada posisi di bawahnya langsung medan lava vulkan muda.
Untuk keperluan mitigasi bencana alam, berdasarkan peta bentuk lahan dan dikaitkan dengan tingkat kerentanannya terhadap bencana, maka dibuat Peta Daerah Bahaya Gunung api Guntur yang dikelompokkan ke dalam tiga daerah bahaya, yaitu Daerah Terlarang, Daerah Bahaya I, dan Daerah Bahaya II. Pembuatan peta daerah bahaya letusan tersebut digunakan untuk keperluan mitigasi bencana alam.
Daerah terlarang meliputi daerah-daerah yang akan terkena dampak langsung dari erupsi vulkan baik aliran lava, aliran lahar, jatuhan material piroklastik, debris avalanche, maupun awan panas . Daerah-daerah pada daerah terlarang akan terkena atau mengalami kontak langsung oleh material-material erupsi tersebut. Daerah Bahaya I meliputi daerah-daerah yang kemungkinan besar akan mengalami dampak serupa pada Daerah Terlarang, namun memiliki intensitas, frekuensi dan resiko yang relatif lebih rendah. Daerah Bahaya II meliputi daerahdaerah di luar Daerah Terlarang dan II yang kemungkinan juga akan terkena dampak erupsi vulkan meskipun tidak sebesar pada daerah Terlarang dan I.
Daerah-daerah yang termasuk dalam zona Daerah Terlarang I dan II meliputi hampir keseluruhan bentuk lahan yang memiliki tingkat kerentanan sangat rentan dan rentan meskipun tidak keseluruhan luasan bentuk lahanbentuk lahan tersebut termasuk ke dalam daerah bahaya. Hal ini disebabkan dengan memperhatikan faktor-faktor lain seperti stadium
gunung api serta posisinya terhadap pusat erupsi saat ini.
Bentuk lahan yang masuk dalam zona Daerah Terlarang yaitu meliputi
keseluruhan kawah aktif, keseluruhan kerucut gunung api cinder, dan Medan lava dari aliran lava yang dikeluarkan dari diatrema kerucut gunung api cinder. Bentuk lahan yang masuk dalam zona Daerah Bahaya I yaitu keseluruhan kawah tidak aktif, lembah Barranco dan sebagian Lereng gunung api. Sedangkan bentuk lahan yang masuk dalam zona Daerah Bahaya II yaitu meliputi sebagian lereng gunung api, medan lava dari vulkan tua dan sebagian dataran kaki gunung api yang terletak pada posisi di bawahnya langsung medan lava vulkan muda.
Dalam kaitan antara distribusi populasi penduduk dengan tingkat kerentanan bahaya letusan gunung api ini, maka penduduk yang paling terancam bahaya jika gunung api ini meletus adalah penduduk yang bermukim pada zona daerah-daerah bahaya tersebut

1 komentar:

Unknown mengatakan...

mas ada gak pembagian peta dari zona bahaya hasil dari satelit aqua modis?

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Themes | Bloggerized by Free Blogger Templates | Macys Printable Coupons